Tuesday 12 June 2012

Bambu Banyak Digunakan di desa Adat Kuno Panglipuran,Bangli - Bali



Di Bali bambu digunakan juga untuk penjor di tepi jalan pada saat merayakan kegiatan keagaman maupun perayaan tertentu. Desa Panglipuran merupakan desa tradisional Bali yang telah berumur 7 ratusan tahun, lingkungannya terasa nyaman dengan jalan dari paving block yang dikanan kirinya ditanami rumput.


Pada ujung jalan terdapat fasilitas umum berupa bangunan untuk pertemuan yang biasa disebut Banjar.Ruangan ini juga digunakan untuk berlatih tari bagi anak anak dan remaja.Desa ini dihuni 743 orang yang bekerja sebagai petani dan jasa umum.Sebagian penduduk membuat kerajinan dan sering diundang untuk pentas tari Bali.  


[Image: 148422162a736dfce42c8aa61f0f7b40e46b6efc.jpg]
Rumah tradisional yang sebagian besar menggunakan bahan bambu


Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya, berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Antara satu pekarangan dengan pekarangan lainnya terdapat jalan sempit yang menghubungkan keduanya. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bambu.

Foto dari : balimetaksu.com & eocommunity.com




Belajar dari Filosofi Bambu di Masyarakat Bali - Penjor_bambu_bali_2.jpg
Penjor dari bambu menghiasi sepanjang jalan pada saat upacara keagamaan


pintu gerbang ke halaman rumah

Penggunaan bambu yang cukup dominan tidaklah mengherankan karena 40% dari luas wilayahnya merupakan hutan bambu (seluas 75 hektar), ketinggian tanah 700 m dpl. Material untuk bangunan bisa diambil dari hutan ini, di samping juga untuk bahan barang kerajinan dan kebutuhan untuk ritual. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring.

[Image: 14842219c3559accea4bc635386bc93e35fa8572.jpg]  [Image: 148422209574d1586a7f6c5df2a210268aa39498.jpg]
kerajinan bambu dibuat penduduk setempat  


Kemampuan mempertahankan penataan ruang dan bangunan secara tradisional di desa Penglipuran, menjadi suatu daya tarik tersendiri sehingga akhirnya tempat ini berkembang menjadi desa wisata. Kegigihan para penduduknya untuk memperjuangkan keaslian desa juga patut mendapat penghargaan, tidak mengherankan desa Penglipuran pernah memperoleh anugerah Kalpataru.

Desa ini menganut tata ruang dengan konsep trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut), dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah, memisahkan ruang madya menjadi dua bagian. Di paling utara pada zona utama atau “ruang pada dewa”, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat beribadah para penduduk desa. Adapun zona madya atau “ruang manusia” terdapat 76 kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran 800-900 meter persegi memanjang dari barat ke timur. Jalan desa sebagai pemisah dipertahankan bebas dari kendaraan roda empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Bagian paling selatan adalah nista mandala atau “ruang bagi manusia yang telah meninggal” berupa tempat pemakaman penduduk desa.